Tidak seorangpun wanita di muka bumi ini yang rela untuk dimadu. Hadirnya wanita lain dalam kehidupan rumah tangga tak lain dari sebuah belati yang terhunus ditengah hati. Rona menyibakan tirai jendela kamarnya, wangi melati terhirup oleh hidungnya, mengingatkannya pada beberapa tahun yang silam, tatkala Rinto yang sekarang menjadi menggiringnya kepelaminan. Tebaran melati di atas karpet menerbarkan aroma romantis, Lalu kepalanya yang bersanggul dihiasi pula dengan rangkaian melati, wanginya tak hilang saat Rona terjaga di pagi hari dan dalam dekapan Rinto. hanya sekarang aroma melati tak lagi seromantis dahulu.
"Pikirkan sekali lagi keputusanmu itu, jangan sampai akhirnya kau menyesal seumur hidup," Suara Rinto suaminya terdengar berat dan prihatin.
"Aku tak akan merubah keputusanku, aku sudah bersumpah sejak remaja dulu, tidak menyukai poligami," Suara Rona terdengar keras dan tegas.
"Tidak akan ada hak-hakmu yang akan dikurangi, sungguh... semua yang kita dapatkan dalam masa perkawinan adalah milikmu, aku tidak akan mengganggu gugat." bujuk Rinto lagi.
"Ambil semuanya untukmu, aku rela keluar tanpa membawa barang-barang milikmu", Sahut Rona marah.
Rinto terdiam, udah habis akal bulusnya yang digunakan untuk membujuk kesediaan Rona menerima kenyaatan bahwa ia ingin beristri lagi. Rinto tak ingin berbuat serupa teman-temannya, kawin dibawah tangan secara diam-diam, lalu menyimpan istrinya dimenara yang tak terlihat oleh lingkungan. Ia ingin keterbukaan seperti yang selama ini ia lakukan dalam kehidupan berkeluarga. Tidak ada rahasia yang disembunyikan, sampai-sampai keinginan untuk menikah lagi, tanpa pikir panjang ia utarakan kepada istrinya.
Bukan kebodohan Rinto mengutarakan keinginannya secara terus terang, perhitungannya yang meleset. Ia mengira dengan mandulnya Rona istrinya, dapat mempermudah niatnya menikahi seorang gadis. Ternyata kini ia terjebak dalam kemelut rumah tangga. Rona terlanjur tau niat busuknya, secara tidak sadar ia telah membuka kedok belangnya, ingin menghadirkan perempuan lain dalam hidupnya.
Rinto terpana, meski Rona jelas-jelas terluka oleh niatnya untuk kawin lagi, namun ia tetap respek, betapa putih hati Rona, karena ia menyatakan kesediaanya untuk pergi tanpa membawa apa pun dari rumah ini. Adakah wanita sebaik ini akan ada lagi dalam hidup mendatang? Hati Rinto seakan digugah agar introspeksi.
"Aku tahu, kau merindukan anak, membutuhkan keturunan. Tapi aku tak mau dimadu," Rona kembali mengatakan tekad hatinya.
"Aku bisa bersikaf seadil-adilnya, Aku bisa lebih menyayangimu meletakanmu diatas segala kepentinganku, percayalah Ron. . .".
"Dengan niatmu membagi hati dan cinta kepada perempuan lain, itu sudah lebih menegaskan bahwa kau tak mungkin lagi ku percaya. Pergilah kawini wanita itu." Ucap Rona seraya meninggalkan Rinto terduduk di kamar tidur.
Sungguh lelah hati Rona, sepanjang minggu ini ia dihadapkan pada keinginan gila suaminya. Lelaki yang tak pandai menenggang rasa. Namun disisi lain, Rona merasa senang, keterbukaan suaminya itu membuat permasalahan terlihat terang. Rona tidak perlu menambah kelelahan hatinya dengan kecurigaan. Semuanya telah di ungkapkan dengan amat terbuka dan terang-terangan.
Kejayaan dan kesuksesan telah mengubah sikaf hidup Rinto. Lelaki yang dahulunya sederhana ini tiba-tiba saja telah berubah seiring dengan jabatan dan meteri yang melimpahinya.
"Rona, katakan apa saja yang kau maui. ini rezeki Tuhan yang harus kita nikmati," ujar Rinto suatu hari tatkala ia berhasil membantu usulan proyek yang bernilai milyaran rupiah. Meski tidka dikatakan dengan terus terang, Rona sudah bisa menebak, berapa persen yang dihadiahkan pada suaminya, entah dalam bentuk persenan atau titipan yang tidak bertanda bukti.
Rezeki seakan menghujani pernikahan mereka. Sesaat saja ia telah menikmati indahnya dunia dengan mendampingi suaminya keberbagai penjuru bumi. Kenyamanan hidup itu seakan mengimbangi kenyataan nasib yang pahit, karena dokter telah menjatuhkan ultimatum yang dahsyat, Rona tidak bisa hamil. Pemeriksaan menyatakan Rona mandul. Kebelahan bumi mana pun Rona berupaya mati-matian, hasilnya tetap sama, ia tak bisa mengandung. Betapa misterinya sebuah nasib, disatu sisi Rona mengecap kebahagian dari seluruh limpahan materi, namun disisi lain ia meratap karena tak mampu menghadapi kenyataan dan takdir yang berat, karena keinginan memiliki anak itu hanya berada dalam kuasa Tuhan. Dokter ahli manapun didunia ini, tidak akan mampu membuat benih di rahim perempuan jika tidak oleh kuasa Sang Pencipta. Hal tersebut dipahami betul oleh Rinto, sebagai orang yang hidup dalam alam religius, ia senantiasa mengembalikan realita hidup yang diterimanya sebagai kehendak Tuhan. Itulah sebabnya semula Rinto tidak menuntut akan keharusan Rona mengandung dan melahirkan.
B E R S A M B U N G . . .
Tidak ada komentar: